Stadion Andi Mattalatta, Makassar, mendadak viral di sejumlah platform media sosial. Kandang PSM Makassar tersebut diperbincangkan warga dunia maya karena beredar foto dan video yang menunjukan kondisi memprihatikan. Selain rumputnya tak terurus, di salah satu sudut tibune juga ditanami sayuran.
Pemandangan seperti itu tentu saja tidak akan dijumpai di stadion-stadion sepak bola di Eropa, yang juga tidak digunakan bertanding lagi selama pendemi Covid-19. Pasalnya, di negara yang sudah lebih mapan sepak bolanya, klub pemilik maupun penyewa bertanggung jawab penuh terhadap kondisi stadion.
Padahal, arena bermain sepak bola yang juga dikenal sebagai Stadion Mattoangin tersebut sebenarnya menyimpan banyak sejarah. Stadion itu menjadi saksi kejayaan PSM di era Perserikatan hingga Liga Indonesia.
Berdiri sejak 2 November 1915, PSM merajai Perserikatan 1955/1957, 1957/1959, 1964/1965, 1965/1966, serta 1991/1992. Lalu, menjadi runner-up 1951, 1959/1961, 1964, dan 1993/1994. Sementara di Liga Indonesia, Juku Eja sukses pada 1999/2000, serta menempati posisi kedua 1995/1996, 2001, 2003, 2004, dan 2018.
Selain kompetisi domestik, Stadion Mattoangin juga pernah menjadi venue pertandingan sepak bola regional. PSM menggelar duel-duel kandang Asian Club Championship 2001 serta Liga Champions Asia 2004 dan 2005 di stadion tersebut. Pada masa itu, Stadion Mattoangin masih memenuhi standar Konfederasi Sepak bola Asia (AFC). Sementara saat ini tidak, sehingga PSM harus memainkan Piala AFC 2019 dan 2020 di Stadion Pakansari, Cibinong, dan Stadion Madya Gelora Bung Karno, Jakarta.
Jauh sebelumnya, Stadion Mattoangin sebenarnya dibangun untuk menjadi penyelenggara Pekan Olahraga Nasional (PON) 1957. Awalnya, PON akan dilaksanakan di Jakarta. Tapi, kemudian dipindahkan ke Makassar.
Seperti dilansir Historia, kandang Juku Eja tersebut berdiri di lahan tujuh hektar. Pada masa kolonial, tempat tersebut merupakan lahan peternakan sapi dan pemerahan susu milik Frisian. Lalu, saat pendudukan Jepang hingga Perang Kemerdekaan Indonesia, lahan itu digunakan sebagai markas militer.
Ketika pecah pemberontakan yang dipimpin Andi Azis pada 1952, lahan itu jatuh ke tangan pemberontak. Butuh lima tahun bagi Letnan Kolonel Andi Mattalatta selaku Ketua Penguasa Perang Daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara (kini Pangdam) untuk membebaskan lahan tersebut. Letkol Mattalatta lalu memanfaatkannya untuk kawasan olahraga bagi anak-anak muda di Makassar agar tidak bergabung dengan pemberontak.
Atas prakarsa Letkol Mattalatta, stadion multifungsi dibangun untuk menjadi penyelenggara PON. Karena itu, stadion berkapasitas 10.000 penonton tersebut diberi nama Andi Mattalatta sebagai penghormatan atas sang pelopor. (*)