Institut National du Football de Clairefontaine adalah akademi sepak bola paling bergengsi di Prancis. Lembaga pendidikan yang berlokasi di 50 km dari Paris, tepatnya di Clairefontaine-en-Yvelines itu melahirkan banyak pemain hebat dunia seperti Nicolas Anelka, Louis Saha, William Gallas, Mehdi Benatia, Blaise Matuidi, Kylian Mbappe, Olivier Giroud, hingga Thierry Henry.
Namun, tidak semua pemain top Prancis merupakan lulusan Clairefontaine. Bahkan, ada pesepak bola yang pernah ditolak masuk akademi itu di masa kanak-kanak, tapi justru menjadi tulang punggung Les Bleus saat menjuarai Piala Dunia 2018. Dia adalah N'Golo Kante.
Kisah itu berawal ketika orang tua Kante hijrah dari Mali ke Prancis pada dekade 1980-an. Pada 29 Maret 1991, Kante lahir di Paris. Namanya diambil dari nama salah satu raja di Mali pada era Kekaisaran Bamana, yaitu Ngolo Diarra. Bersama orang tuanya, Kante menjalani masa kanak-kanak di sebuah flat kecil di Rueil-Malmaison, Hauts-de-Seine.
Pada usia delapan tahun, Kante mulai belajar bermain sepak bola dengan menimba ilmu di tim junior JS Suresnes. Ketika Clairefontaine membuka seleksi untuk anak-anak dari seluruh penjuru Negeri Mode, Kante ikut serta. Namun, lantaran postur yang mini dengan tubuh kurang kekar plus cara bermain yang dinilai terlalu egois, para talent scout Clairefontaine mencoret pesepak bola setinggi 168 cm itu.
"Cita-cita saya saat kecil adalah ingin menjadi pesepak bola profesional. Saya tidak pernah menyerah untuk mewujudkannya. Saya sadar itu bukan pekerjaan mudah," kata Kante dalam sebuah kesempatan ketika bermain di Leicester City, dilansir situs resmi The Foxes.
Usaha meneruskan keinginan menjadi pemain sepak bola ditempuh Kante dengan menjalani banyak trial di berbagai klub. Salah satu yang bersedia menerima Kante adalah US Boulogne. Tim Ligue 2 itu mempekerjakan Kante pada 2010. Tapi, dirinya harus bermain di tim cadangan sekitar dua musim sebelum diberi kesempatan menjalani debut profesional pada 8 Mei 2012 di Ligue 2.
Saat bermain untuk Boulogne inilah sejumlah aktivitas Kante viral di kemudian hari. Salah satunya keputusan dirinya untuk kuliah akuntansi di sebuah universitas. Ada lagi kebiasaannya naik scooter butut untuk datang ke tempat latihan maupun stadion. Kadang, dirinya juga tidak malu naik angkutan umum untuk bepergian di dalam maupun luar kota.
Aktivitas unik Kante ternyata terus berlanjut saat ditransfer ke SM Caen pada 2013. Bedanya, dia semakin matang sebagai box-to-box midfielder. Kante muda bermain layaknya pesepak bola yang sudah memiliki jam terbang tinggi. Berkat kematangan itulah Kante mampu tampil memikat di Caen sehingga terpantau pemandu bakat Leicester, Steve Walsh.
"Saat pertama kali melihatnya bermain (membela Caen), saya berpikir Kante memiliki kembaran di lapangan. Sebab, dia seperti ada di mana-mana," ucap Walsh, dilansir ESPN.
Setelah bersedia pindah ke Inggris pada 2015, Kante semakin dikenal sebagai gelandang jempolan di Premier League. Berkat kemampuannya menggalang lini tengah, The Foxes mampu mencatatkan sejarah menjuarai kompetisi elite Inggris pada 2015/2016. Trofi itu mengantarkan Kante mendapatkan panggilan tim nasional Prancis plus transfer ke Chelsea.
"Fakta menunjukkan, 71% bumi adalah lautan dan sisanya N'Golo Kante," ujar salah satu pemain legenda Prancis, Marcel Desailly, dalam sebuah kesempatan ketika mengomentari penampilan peraih penghargaan Chevalier of the Legion d'honneur dari pemerintah Negeri Mode tersebut.
Bersama Chelsea, pemain murah senyum itu menjuarai Premier League (2016/2017), Piala FA (2017/2018), serta Liga Europa (2018/2019). Sedangkan bersama Les Bleus, Kante ikut menjadi bagian ketika harus puas sebagai runner-up Piala Eropa 2016 dan juara Piala Dunia 2018. (*)